Komite Sekolah Karakter kembali menyelenggarakan kegiatan tahunan Parenting Sharing dengan tema Jadi Besar, Jangan Gusar. Acara yang diselenggarakan secara virtual ini menyoroti perubahan prilaku anak pra-remaja. Antusiasme tinggi terlihat dari para wali murid, tak hanya tingkat SD tapi juga TK hingga SMP di lingkungan Sekolah Karakter.
Bertepatan dengan dimulainya periode semester kedua 2022, Parenting Sharing (PS) SD Karakter untuk kelas 4, 5, dan 6 SD ini berjalan lancar meski diselingi hujan di bulan Februari. Dua narasumber dengan latar belakang klinis dan psikis menyampaikan materi yang sangat bermanfaat bagi orang tua dalam melewati masa pra-remaja anak yang rata-rata dimulai dari kelas 4 SD.
Dokter spesialis anak Yulianto Santoso Kurniawan atau yang akrab disapa Dokter Anto mengawali penyampaian materi pada event tersebut, dilanjutkan dengan Irwan Rinaldi yang beken dengan sebutan Ayah Irwan. Kedua pembicara memberikan suasana haru bercampur cemas para orang tua yang sedang melalui masa-masa perubahan anak. Hal itu terlihat dari komentar dan pertanyaan yang masuk melalui kolom chat di zoom pada Sabtu pagi, 5 Februari 2022.
Ketua Komite Sekolah Karakter Defrizal Siregar dalam sambutannya menyampaikan harapan agar acara ini dapat memberikan khazanah baru bagi orang tua di tengah derasnya arus perubahan di masa pandemi. “Kelas 4, 5, dan 6 SD menjadi sangat strategis, mereka sedang dalam masa transisi dari fase anak menuju fase remaja dan beranjak dewasa,” ungkap Defrizal dibalut kaos hitam bertuliskan Jadi Besar, Jangan Gusar.
Perubahan hormonal bagi anak pra-remaja, menurut Defrizal, perlu disikapi dengan bijaksana. Pemahaman orang tua dalam mengatasi perubahan sikap anak, adalah bekal untuk mendampingi tumbuh kembangnya menjadi generasi gemilang dan berkarakter, lanjut Defrizal.
Kepala Sekolah SD Karakter Yulia Pratiwi menyampaikan terima kasih atas kolaborasi yang berjalan lancar antara pihak sekolah dengan komite melalui kordinator kelas 4, 5, dan 6 SD. Melalui parenting sharing, diharapkan memberi manfaat kepada orang tua dalam mengoptimalkan pendampingan pada tumbuh kembang anak. “Dengan pemateri yang keduanya adalah seorang ayah, mengingatkan kita kembali bahwa peran serta dalam mendampingi anak yang beranjak dewasa bukan hanya tugas bunda, tapi kehadiran ayah sangat dibutuhkan,” tutur Yulia dalam sambutannya.
Diskusi virtual pagi itu juga diawali dengan drama singkat yang diperankan Sandy Pas Band bersama anak perempuannya yang duduk di kelas 5 SD Karakter. Sandy menggambarkan tentang penyesalan seorang ayah atas ketidakhadirannya di masa kecil, sementara saat ia sangat merindukan peluk cium anaknya, teteh, begitu Sandy menyapa anaknya, ia pun mulai menolak karena merasa bukan lagi anak-anak dan sudah punya kegiatan sendiri.
Sementara itu, sebelum dokter Anto memulai materinya, dia mengingatkan bahwa tak ada kata terlambat bagi orang tua untuk belajar, untuk hadir bukan sekadar hidup bersama anak. Dengan kerendahan hati, dia pun merasa masih belajar dengan orang tua yang hadir dalam diskusi tersebut.
“Saya Percaya dokter anak yang sesungguhnya adalah Ibu dan Bapak. Yang mengumpulkan puzle dan merangkai hingga memberi warna bagi mereka,” ujar dia sebelum memulai pemaparan.
Masa remaja yakni 10 hingga 24 tahun, diawali dengan perubahan hormonal yang biasanya dimulai pada usia 8 tahun untuk anak perempuan dan 9 tahun untuk laki-laki. Menurut Dokter Anto, remaja akan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika. Perubahan hormonal pada fase tersebut memicu respon emosi yang meledak-ledak, sebab otak dalam tumbuh lebih cepat ketimbang otak depan yang berperan penting pada pembentukan logika. “Disinilah peran orang tua dibutuhkan untuk mengarahkan dan memotivasi pilihan yang akan diambil anak, sehingga tidak berdasar pada emosional melainkan keputusan yang logis,” ungkap pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi orang tua terhadap remaja diantaranya penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, kehamilan dini, hingga kematian akibat bunuh diri. Menurut Dokter Anto, anak yang dibiarkan menangis dan depresi sendiri secara berulang dapat memicu toxic stress sehingga mempengaruhi perkembangan dan mengubah prilakunya.
Upaya yang dapat dilakukan orang tua menghadapi remaja terlebih di masa pandemi adalah melengkapi vaksinasi dan konsultasi dokter maupun psiakiater, sebab kesehatan fisik dan mental sangat dibutuhkan di tengah kondisi ketidakpastian saat ini. Remaja membutuhkan reward, bukan punishment. Dan yang juga penting, orang tua harus selesai dengan diri sendiri. “Secara tidak sadar, kita kerap membawa masa lalu dalam mengasuh anak. Padahal belum tentu yang dipelajari masa lalu benar adanya di masa sekarang,” kata dokter Anto.
Sejumlah faktor dapat membentuk remaja yang resilien apabila terkoneksi dengan baik di dalam rumah, menemukan rasa saling menyayangi dan memahami tanggung jawab masing-masing. Selain itu, faktor lingkungan dengan teman sebaya serta peran serta sekolah juga sangat menentukan daya tahan remaja dari segala tantangan yang dihadapi.
Ayah Irwan Rinaldi tak kalah menariknya dalam menyampaikan materi. Dia mengibaratkan pra-remaja sebagai “makhluk baru” yang berubah secara fisik maupun mental di usia 10 hingga 15 tahun. Senada dengan pembicara klinis, ayah Irwan yang malang melintang di dunia parenting khususnya fathering, mengatakan bahwa orang tua butuh berdamai dengan diri sendiri dan melihat lagi relasi pernikahan agar dapat berdamai dengan pra-remaja. “Relasi spiritual dengan Tuhan, juga relasi dengan Bapak sangat dibutuhkan di masa tersebut,” ucap Ayah Irwan.
Menurutnya, anak butuh simulasi bukan justru di sterilkan. Dengan simulasi atau coaching, mereka akan merasakan apa itu kecewa dan bagaimana mengatasi kekecewaan. Orang tua bukan saatnya lagi mencari waktu luang untuk membersamai anak, tapi meluangkan waktu untuk membersamainya. “Percayalah, waktu 5 tahun ini tak akan lama, kita pasti lelah, biarlah kita pahit sekarang demi kehidupan yang sangat panjang”. Keberhasilan orang tua mengasuh dan membimbing anak di masa pra-remaja, akan menimbulkan rasa taat mereka pada orang tua, bukan karena takut tapi karena kecintaan yang luar biasa, pungkas Ayah Irwan.