Di dalam Al Qur’an, dikisahkan tentang kesombongan iblis yang tidak mau bersujud di hadapan Nabi Adam. Ketika Tuhan menyuruh para Malaikat bersujud di hadapan Adam, semuanya patuh kecuali iblis. Alasan iblis menolak adalah, “Aku lebih baik daripadanya, Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS 7:12).
Jadi, sikap yang merasa “aku lebih baik daripadanya” adalah sikap yang berasal dari iblis. Adalah sifat alami iblis untuk bersikap sombong, karena memang iblis diciptakan dari api. Api adalah benda panas yang menuntut ketinggian, yaitu sifat yang selalu ingin naik ke atas. Menurut Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam (diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Mizan), dalam raga manusia ada unsur api yang merupakan unsur terpanas. Apabila unsur api itu tidak terkontrol oleh hati nurani, maka unsur panas itu memanifestasikan kualitasnya dalam bentuk penyangkalan dan penolakan kepada kebenaran, dan akan menyatakan kebesaran dan kehebatan dirinya.
Sikap “aku lebih baik, lebih pintar, lebih hebat dari dia” berasal dari sifat api yang akan termanifestasi dalam perilaku negatif, seperti persaingan tidak sehat, ingin berkuasa, tidak mau dikalahkan, dan menindas. Akibatnya terjadilah banyak konflik dan kerusakan di muka bumi.
Celakanya, sifat “aku lebih hebat” itu telah diinstitusionalisasikan oleh sistem pendidikan kita, yaitu dengan diterapkannya sistem rangking (peringkat) di kelas. Sejak masuk sekolah dasar, anak-anak Indonesia telah di-rangking dari 1 sampai 30 atau lebih. Anak-anak yang mendapatkan rangking 10 besar, akan merasa hebat karena lebih dari kawan-kawan lainnya. Yang tidak mendapatkan rangking bagus sejak usia dini, sudah divonis untuk menjadi orang bodoh.
Orang yang pintar dan bodoh memang selalu ada dalam setiap masyarakat. Namun keberadaan mereka dalam suasana persaingan “aku lebih hebat” ini, akan menimbulkan rasa iri hati, kemarahan, dan agresivitas, atau ekstrem kebalikannya, yaitu sifat minder atau penghargaan pada diri rendah yang dapat merusak diri sendiri. Sombong dan minder adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu berasal dari unsur api yang akan membakar dan melalap segalanya.
Sistem rangking itu juga telah mengubah persepsi orang tua terhadap pendidikan, yaitu terlalu berorientasi kepada keinginan “anak saya lebih hebat” dari yang lainnya. Bagi mereka yang mampu, anak-anaknya di-drilled dengan berbagai macam les sehingga beban anak-anak Indonesia kelas menengah ke atas menjadi begitu berat. Akibatnya banyak yang stres, dan berbagai masalah kejiwaan ditimbulkannya. Golongan yang tidak mampu juga sama, yaitu stres, apatis, pesimistis, dan hilang percaya diri.
Berhubung orientasi pendidikan di rumah dan di sekolah adalah untuk menjadi “aku lebih hebat”, maka terjadilah massalisasi penanaman sifat iblis secara nasional. Jangan-jangan manusia Indonesia telah menjadi rangking mania atau kasarnya, banyak yang telah menjadi “iblis” (Oops, sorry!!!). Coba deh amati perilaku manusia Indonesia dari anak-anak sampai orang dewasa.
Pada anak-anak sekolah, sifat iblis itu terlihat pada kebiasaan menghalalkan segala cara untuk menjadi “aku lebih hebat” ini. Dari kebiasaan menyontek dan ketidakjujuran lainnya, saling mengejek dan menjatuhkan kawan, tidak mau kalah, berkelahi, sampai tawuran sekolah (“aku lebih kuat”). Pada
orang dewasa termanifestasi pada sifat iri kalau kawannya berhasil, sulit bekerja sama, ingin cepat sukses dengan jalan apa saja (menipu, korupsi, beli gelar), tawuran antar RW, desa atau pun tawuran politik yang saling menjatuhkan. Bahkan sampai tingkat ibu-ibu yang bergunjing tentang tetangga
yang tidak disukai.
Sistem pendidikan kita sekarang mungkin telah menyalahi filosofi pendidikan yang dikemukakan Socrates 2.400 tahun lalu, yaitu untuk membuat seseorang menjadi good and smart, atau manusia baik dan bijak, yakni orang yang dapat menggunakan kepandaiannya kepada hal-hal yang baik. Manusia yang telah terdidik seharusnya telah mengetahui bagaimana menggunakan ilmunya dan dapat hidup secara bijak dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Atau, mereka mengetahui bagaimana bisa hidup damai dan beramal saleh.
Jadi, kalau kita ingin mengubah keadaan carut-marut bangsa seperti sekarang ini, salah satunya mungkin dimulai dari mengurangi sikap rangking mania (iblis) itu, baik oleh para orang tua maupun sekolah. Sepengetahuan saya, sistem sekolah yang baik tidak mengenal rangking yang ketat. Anak-anak SD di Korea, misalnya, tidak ada sistem rangking. Demikian juga di AS, seperti pengalaman anak saya ketika bersekolah SD di Massachusetts, AS. Boro-boro diberi rangking, anak-anak kelas 1 sampai kelas 3 SD tidak diberi nilai, tetapi deskripsi performance yang mencakup aspek kognitif, motorik, art, dan emosi. Kategorinya adalah konsisten dan belum konsisten. Yang belum konsisten bukan berarti bodoh dan tidak bisa, tetapi perlu dilatih agar kemampuannya menjadi konsisten.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana memotivasi murid untuk berusaha menjadi terbaik kalau tidak ada insentif sistem rangking? Yang jelas, dengan sistem rangking yang telah berlangsung puluhan tahun ini, ternyata secara umum, gagal memotivasi siswa untuk mencintai keilmuan, menjalankan tugas dengan baik dan amanah, untuk senang berkarya menghasilkan sesuatu yang terbaik; apa pun bentuknya, entah itu pekerjaan mekanik, buruh, atau akademik. Buktinya, kualitas SDM Indonesia termasuk dalam 5 terburuk di dunia!!
Memotivasi belajar yang efektif adalah dengan menumbuhkan rasa kecintaan anak dalam proses belajar. Kalau anak cinta, maka yang ada adalah semangat, rasa ingin tahu, ingin mencoba sehingga menimbulkan sikap kerja keras dan pantang menyerah. Bagaimana rasa mencintai ini dapat tumbuh, kalau anak merasa terbebani ketika belajar, dengan kurikulum padat dipaksakan, guru yang seram, ketakutan mendapat nilai jelek, atau ambisi untuk hanya semata-mata meraih nilai tinggi (rangking mania)?
Selain itu, sekolah hendaknya mengajarkan pendidikan karakter yang dapat mencerdaskan emosi anak. Dengan ini, anak dibimbing untuk menghargai teman, saling peduli, serta mempunyai komitmen untuk menjadi terbaik (sesuai kapasitas), tanpa berpikir bagaimana mengalahkan dan menjatuhkan kawan. Bukankah suasana hati senang yang diperoleh dari iklim sekolah yang menyenangkan, dengan teladan baik dari guru-guru dan orang tua, dapat membuat para siswa menjadi mudah menerima dan menghayati pelajaran?
Nah, kalau manusia unsur dominannya adalah tanah, maka seperti halnya sifat tanah yang padat dan merendah, manusia selayaknya menjadi hamba, yaitu rendah dan baik hati, pekerja keras, peduli lingkungan, dan pasrah kepada Tuhan. Jadi, baik anak pandai maupun yang kurang pandai, akan rendah hati dan baik hati. Mereka akan menjadi orang-orang yang bertanggung jawab dan penuh dedikasi kepada profesinya, apa pun peran dan profesi yang dijalankannya, entah itu tukang becak, montir, petani, dosen ataupun presiden.