Ibu mertua saya yang sekarang berusia 86 tahun pernah bercerita tentang bagaimana beliau bersusah payah menyekolahkan kelima anaknya dengan keringat sendiri. Beliau memang buta huruf karena tidak pernah merasakan bangku sekolah sama sekali, kecuali hanya belajar mengaji. Namun beliau bertekad agar anak-anaknya bisa sekolah, paling tidak sampai tingkat SLTA.
Ketika suami saya masih di sekolah madrasah di kampung, uang sekolahnya dibayar dengan sebagian hasil panen dan dengan menyumbang tenaga untuk mengerjakan sawah para guru. Setelah lulus madrasah, suami saya pergi ke kota Langsa untuk masuk ke sekolah PGA dan tinggal di sebuah pesantren. Untuk keperluan sekolah dan makan, ibunya sengaja memelihara bebek yang hasil telurnya dikumpulkan untuk dijual di pasar. Setiap 2 minggu sekali, suami saya pulang ke kampung untuk mengambil uang telur bebek dan kadang-kadang juga untuk keperluan menjahit celana panjangnya yang kerap robek karena sudah lapuk, akibat dipakai terus-menerus, berhubung celana miliknya hanya ada dua buah.
Katanya, pada jaman itu, orang-orang di kampungnya pada umumnya bernasib sama, harus bekerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tentunya mereka tidak pernah membayangkan, apalagi mengharapkan adanya subsidi pemerintah. Sekolah SD Inpres di kampung saja baru dibangun pada pertengahan tahun 1970-an. Dulu orang-orang di kampungnya, baik pria dan wanita, amat rajin bekerja di sawah atau di ladang. Ibu mertua saya sekarang tidak mengerti, mengapa banyak orang di kampungnya saat ini, terutama yang laki-laki lebih senang duduk-duduk di warung kopi daripada bekerja di ladang. Padahal menurut ibu mertua saya, kehidupan sekarang jauh lebih mudah, misalnya sekolah negeri lebih banyak tersedia, bahkan untuk SD hampir gratis, ada Puskesmas yang bayarnya dibawah Rp 5.000, transportasi lebih mudah, dan sebagainya. Herannya lagi, sebagian besar dari mereka yang duduk-duduk di warung kopi, lebih banyak mengeluh tentang kesulitan hidup, dan mengharapkan pemerintah untuk memberi pekerjaan kepada mereka.
Saya jadi teringat kisah suku Arial dari Kenya Utara (Elliot Fratkin, 1991). Suku Arial adalah suku nomaden di daerah semi padang pasir yang bekerja menggembalakan ternak. Mereka bisa bertahan hidup dan bahkan bisa surplus makanan, karena hasil dari ternaknya berupa daging, susu, darah, dijual untuk
membeli gandum, kopi, gula, dan keperluan hidup lainnya. Berhubung mereka memang terisolasi dan tidak diperhatikan oleh masyarakat luar, mereka harus berjuang keras untuk dapat hidup, sehingga mereka pernah terkenal sebagai masyarakat pekerja keras dan mandiri.
Namun bagi pemerintah Kenya dan para misionaris Kristen, kehidupan mereka dianggap primitif, sehingga mereka perlu diberikan tempat menetap seperti layaknya kehidupan masyarakat di jaman moderen. Para penduduk nomaden tersebut kemudian diberikan berbagai kemudahan; subsidi pangan, kesehatan, dan pendidikan, agar mau pindah ke tempat yang disediakan. Tentu saja mereka memilih untuk tinggal di tempat yang baru daripada harus bekerja keras di padang pasir.
Ternyata hasilnya sudah dapat diprediksi, yaitu hilangnya etos kerja dan kemandirian, sehingga akhirnya mereka menjadi masyarakat yang sangat tergantung. Sikap etos kerja dan kemandirian yang telah dimiliki secara turun menurun, telah hilang dalam waktu yang relatif cepat. Inilah juga yang terjadi di perkampungan orang-orang Indian (Indian reservation) di Amerika Serikat. Karena pemerintah AS memberikan segala macam subsidi, maka banyak dari mereka yang menjadi malas bekerja, pecandu alkohol dan penjudi. Mereka secara rutin mendapatkan bantuan hidup dari pemerintah.
Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai “moral hazard problem of the welfare program“. Banyak studi menunjukkan bahwa dengan adanya program bantuan sosial (welfare program) yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan justru membuat orang-orang miskin menjadi sulit untuk keluar dari lembah kemiskinan. Studi yang dilakukan oleh Cato Institute di AS membuktikan bahwa para pengangguran yang menerima subsidi cenderung berubah karakternya menjadi pemalas, enggan mencari pekerjaan dan hilang sikap kemandiriannya. Hal ini juga berdampak kepada anak-anaknya dimana menurut laporan Cato Institute, “children raised in families on welfare are seven times more likely to become dependent upon welfare than are other children“. Bukan itu saja, kebiasaan mendapatkan subsidi juga telah menumbuhkan sikap entitlement attitude (menuntut hak), yang tentunya merupakan sikap bertolak belakang dengan sikap pengorbanan dan tanggung jawab. Sikap menuntut ini akan menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan menimbulkan rasa marah.
Hal ini diungkapkan juga oleh Marshall Fritz (2003), “With welfare, however, the recipient concludes he has a right to the money and often gets angry because he believes he deserves more. The subsidy transforms him into an angry parent. And when government funding ruins the attitude of the parent, the parent ruins the attitude of the child.”
Sewaktu kami tinggal di sebuah apartemen di AS, pernah beberapa bulan bertetangga dengan pasangan suami istri yang tidak bekerja, dengan kedua anaknya yang jarang terlihat pergi ke sekolah. Hampir setiap hari kami mendengar suara teriakan dan makian, baik pertengkaran suami istri, maupun makian kepada kedua anaknya. Tadinya kami bingung bagaimana pengangguran bisa membayar sewa apartemen dan bisa makan karena kerjanya hanya bertengkar setiap hari. Kelihatannya mereka pun tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Di kemudian hari akhirnya kami tahu, ternyata keluarga tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Memang, bagi negara yang demokratis dimana rakyat mempunyai kekuatan untuk memilih pemimpinnya, program-program untuk membantu rakyat miskin pasti akan populer. Karena banyak para pemimpin yang berpikir bagaimana bisa terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Namun perlu diingat, bahwa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan di AS selama lebih dari 30 tahun, tidak berdampak signifikan. Ternyata, jumlah orang miskin di AS masih saja di atas 30 juta orang.
Kalau sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, baik kaya maupun miskin, telah merasa berhak untuk mendapatkan subsidi BBM, dan marah-marah ketika subsidi dihapuskan, saya khawatir dampak yang akan timbul di kemudian hari ketika dana kompensasi subsidi BBM dipakai untuk subsidi sekolah, kesehatan, dan pangan yang akan mencakup jutaan orang miskin. Saya khawatir, terutama terhadap karakter yang akan terbentuk nantinya. Apalagi ada berita tentang klaim kesepakatan enam fraksi DPR yang menginginkan dana alokasi kompensasi subsidi BBM digunakan untuk pendidikan gratis dari SD sampai SMP. Bukan apa-apa, kalau membaca laporan tentang bobroknya sekolah-sekolah negeri di AS, salah satu penyebab utamanya adalah karena uang sekolah yang gratis yang menimbulkan ketidakpedulian masyarakat tentang bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Fritz: “The key to good education is good parenting, and the key to good parenting is for parents to reassume the burden of decision-making and financing their children’s education.”
Saya mengerti bahwa posisi pemerintah saat ini sangat dilematis. Tulisan ini hanya memberikan inspirasi untuk menghapuskan kemiskinan, sehingga bagaimana caranya agar pemakaian dana subsidi ini jangan sampai mencegah tumbuhnya sikap-sikap mendasar bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan, seperti sikap bekerja keras, mandiri, belajar bagaimana bekerja dengan jujur, berkepribadian kuat, bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya, menjadi warga negara yang tertib serta patuh hukum.*