KAWAN saya pernah bilang bahwa begitu kita dilahirkan, kita sudah dikondisikan oleh budaya, kebiasaan,
kepercayaan, termasuk agama yang berlaku setempat. Boleh dikatakan bahwa kita menjadi apa adanya
sekarang, karena sebuah “kebetulan” yang bukan kita pilih.
Saya bayangkan, apabila saya dilahirkan di sebuah keluarga keturunan Cina, mungkin saya akan beragama
Budha, Kong Hu Chu, atau Kristen. Apabila saya dilahirkan di pedalaman hutan Papua, mungkin saya akan
menjadi penganut animisme, atau kalau kebetulan orang tua saya anggota jemaah Ahmadiyah, mungkin saya
juga akan menjadi pemeluk Ahmadiyah yang taat.
Apabila ada yang merasa beruntung karena dilahirkan dalam keluarga Islam sehingga bisa menjadi pemeluk
Islam, begitu pula perasaan yang sama dialami oleh mereka yang dilahirkan dalam keluarga Kristen,
Hindu, Budha, Ahmadiyah, dan sebagainya.
Apakah mereka bisa disalahkan hanya karena menaati sesuatu ajaran, ritual atau mazhab keagamaan yang
disosialisasikan sejak kecil yang mana mereka tidak bisa memilih atau menghindarinya?
Saya tidak memilih untuk dilahirkan di dalam keluarga Islam dan dibesarkan secara itu, tetapi saya
bersyukur bahwa melalui agama Islam saya bisa mengenal Tuhan. Karena itu saya ingin dihormati dengan
segala atribut yang saya miliki, tetapi saya tidak bisa memaksakan orang lain untuk percaya kepada agama
saya. “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama” (Al-Baqarah:256).
Begitu pula pemeluk agama lainnya yang harus dihormati karena menyembah Tuhannya melalui ritual
keagamaannya, karena mereka juga tidak memilih untuk dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan agama
atau mazhabnya.
Oleh karena itu, tindakan brutal sekelompok orang yang mengaku ingin menegakkan agama dengan teror,
ancaman, dan pengrusakan tempat ibadah, atau memaksa kelompok lain untuk jangan berbeda, adalah
tindakan yang bertentangan dengan hakikat toleransi beragama dan hak azasi manusia yang dijamin oleh
konstitusi. Hal itu juga bertentangan dengan spirit dari agama itu sendiri.
*
JALALUDDIN Rumi, seorang penyair Sufi besar dari Persia pada abad ke-13, pernah menuliskan kisah Nabi
Musa yang diajarkan Tuhan untuk bersikap toleran terhadap pemahaman yang berbeda, yang dituangkan
dalam bait-bait puisinya yang indah dalam Masnawi.
Puisi ini telah diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Nicholson dengan judul The Shepherd’s Prayer by
Rumi in RA Nicholson’s Rumi, Poet and Mystic, London , 1950. Berikut terjemahan bebasnya:
“Ketika Musa sedang berjalan, ia mendengar seorang penggembala yang sedang berdoa sambil meratap. ‘Oh
Tuhan di manakah gerangan Engkau, karena aku ingin melayani-Mu dan menjahitkan sepatu-Mu, dan
menyisirkan rambut-Mu. Aku ingin mencucikan baju-Mu, membunuh kutu kepala-Mu dan membawakan susu
untuk-Mu, oh Duhai yang maha terpuji.”
Mendengar kata-kata yang dianggap bodoh tersebut, Musa berkata, “Kepada siapa kamu berbicara? Betapa
kata-kata itu tidak bermakna; memalukan dan liar! Sumbat mulutmu dengan kapas!… Tuhan yang Maha Agung
tidak memerlukan pelayanan seperti itu.”
Sang penggembala menjadi amat kecewa dan sedih, dan ia merobek bajunya sambil pergi ke arah yang tidak
menentu. Kemudian datang wahyu Tuhan kepada Musa: “Kamu telah memisahkan hamba-Ku dari Aku… Aku telah
anugerahkan kepada setiap manusia cara berdoa masing-masing; Aku telah berikan cara khusus kepada
masing-masing untuk berekspresi. Bahasa yang digunakan oleh orang Hindustan adalah sangat indah bagi
pemeluk Hindu, begitu pula bahasa Sindhu yang amat indah bagi pemeluk Sindhu.
Aku tidak melihat pada ucapan lidah, tetapi Aku melihat ke dalam sanubari dan perasaan terdalam hati
manusia. Aku melihat ke dalam hati manusia untuk melihat apakah ada kerendahhatian, walaupun ucapannya
tidak menunjukkan demikian. Cukuplah sudah segala macam ungkapan dan metofora! Aku menginginkan hati
yang membara dengan api cinta, hati yang membara! Biasakanlah dengan bara api tersebut!”
*
TUHAN memang sengaja menciptakan manusia secara berbeda-beda suku bangsa, budaya, dan agama. “Kami
telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujurat: 13).
Arti taqwa menurut Prof DR Hamka dalam tafsir Al Azharnya adalah memelihara diri dari perbuatan yang
tidak disukai Tuhan, selalu melakukan kebajikan, dan mempunyai tingkah laku terpuji.
Jadi, siapa pun yang memiliki akhlak yang mulia, takut kepada Tuhan, dan selalu menjaga lidah, tangan, dan
hati dari perbuatan yang tidak terpuji, maka merekalah yang paling mulia di sisi Tuhan. Sebaliknya,
mereka yang tinggi hati, merasa diri paling beriman dan benar, pendendam dan pemarah, gemar melakukan
penyerangan, perusakan, dan perilaku buruk lainnya, adalah tindakan yang tidak mencerminkan
ketaqwaan, walaupun orang tersebut mengaku telah beragama.
Perangai yang baik atau ketaqwaan adalah syarat untuk menemukan Tuhan. Plotinus, seorang mistikus
neoplatonik Romawi abad ke-3 pernah berkata, “Tidak akan pernah suatu jiwa mengenal Keindahan Agung
(Tuhan) kecuali jiwa itu sendiri menjadi indah”. Seperti halnya pendapat Jalaluddin Rumi, “Hanya
Kebenaran yang mengetahui Kebenaran”. Dengan kata lain, hanya mereka yang hatinya sudah bersih (taqwa)
yang bisa mencapai Tuhan.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam bahwa servanthood;
pengabdian, kerendah-hatian, dan penyerahan diri adalah kualitas yang pertama-tama yang harus
dimiliki untuk mendapatkan kedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Namun, kebanyakan manusia yang
merasa telah beragama mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, tanpa mempunyai kualitas
servanthood. Sehingga yang terjadi adalah pemujaan akan kebesaran diri, termasuk pemujaan terhadap
apa yang diyakininya sebagai yang lebih baik dari yang lainnya.
Sifat ini adalah sifat Iblis yang menyatakan kebesaran dirinya, “Aku lebih baik dibandingkan Adam”
(Al-Araf:12). Manusia seperti ini berpikir bahwa mereka telah menyembah Tuhan, tetapi sebetulnya
sedang menyembah dirinya sendiri dengan segala atribut yang dimilikinya (materi, kekuasaan, termasuk
agama yang dianutnya).
*
MENURUT seorang Sufi yang lama bermukim di AS, Bawa Muhayaiddeen, seluruh manusia di dunia ini
diibaratkan sebagai para musafir yang sedang dalam perjalanan panjang di gurun pasir untuk menuju suatu
tempat keabadian.
Kita semua sedang mencari air kesejukan di sebuah oase untuk bekal dalam perjalanan panjang ini.
Sesampainya di oase, kebanyakan manusia lupa untuk mengambil air kesejukan tersebut, karena melihat
adanya perbedaan di antara mereka. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada juga yang dari kuningan,
kayu, dan sebagainya.
Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang dibawa orang lain adalah salah karena seharusnya memakai
wadah seperti yang dimilikinya. Mereka saling beradu pendapat, bahkan berkelahi, dan saling membunuh.
Ketika waktu mereka telah habis, mereka tidak sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan, sehingga
tidak mempunyai bekal apa-apa untuk mengarungi tempat Keabadian.
Hanya segelintir manusia yang betul-betul memfokuskan dirinya untuk mengambil bekal air kesejukan
tersebut, tanpa menghiraukan perbedaan wadah orang lain. Mereka inilah yang mempunyai bekal cukup
untuk mengarungi kehidupan yang abadi kelak. Wallahualam (hanya Tuhan yang mengetahui Kebenaran). *